Indonesia Percepat Produksi Vaksin Penyakit Menular
INDONESIA harus mempercepat produksi vaksin untuk mengatasi berbagai macam
penyakit utama. Pasalnya, penyakit tersebut telah berkembang penularannya dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).
Hal itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) Sam Soeharto di sela Konferensi Jaringan Produsen Vaksin Negara-Negara Berkembang (DCVMN) ke-13 di Kuta, Bali, Kamis (1/11/2012).
Dalam perkembangannya, hewan yang terkena vaksin yang telah berusia puluhan tahun, kumannya menjadi kebal. Akibatnya, vaksin yang dibuat tidak efektif lagi untuk kuman yang sama.
Harus diingat, kuman itu cukup pandai dan cepat beradaptasi terhadap suatu obat, sehingga kuman yang sama itu bisa mengeluarkan zat-zat untuk menghacurkan segala macam obat atau NGR Multi Drug System.
Menurut Soeharto, memang tidak ada jalan lain kecuali lewat obat vaksinasi. "Harus dilakukan vaksinasi. Kalau vaksinnya belum ketemu, itu yang menjadi problem," katanya.
Berkembangnya berbagai macam penyakit utama di Indonesia, lanjutnya, dapat memengaruhi target pencapaian angka MDGs (Millenium Development Goals).
Soeharto kemudian mencontohkan penyakit malaria. Saat ini, malaria masih menjadi masalah besar karena Indonesia belum mampu mengatasi penyakit tersebut dengan baik. "Ini yang harus kita kejar bagaimana mencari, memproduksi vaksin-vaksin baru untuk mengatasi penyakit utama tersebut," ungkapnya.
Penyakit malaria masih banyak ditemukan seperti di daerah-daerah baru untuk pertambangan batubara, perkebunan sawit yang tersebar di beberapa daerah seperti Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.
Yang menjadi persoalan, bagaimana macam penyakit utama itu kini yang telah berkembang menjadi zoonosi seperti flu burung, flu babi, tubercolosis (TB) hingga malaria bisa ditemukan obat vaksinnya. Sejauh ini, sudah ada beberapa riset dilakukan untuk mencari vaksin yang bisa mengatasi berbagai macam penyakit tersebut.
"Tidak ada terhambat, cuma memang risetnya belum final. Karena vaksinasi TB misalnya, tidak sepenuhnya efektif untuk melindungi atau protektif terhadap TB," katanya menyoal kendala riset vaksin di Indonesia.
Soeharto kemudian kembali mencontohkan, orang yang terdiagnosa penyakit TB belum tentu bisa diobati dengan vaksin tersebut. “Pasalnya, vaksin itu hanya memproteksi TB di luar paru-paru sedangkan untuk yang berada di paru-paru masih perlu dikaji,” tukasnya.
Soeharto mengakui, untuk pengembangan vaksin baru dibutuhkan dana tidak sedikit dan memerlukan riset yang cukup lama. Belum sepenuhnya perusahaan besar vaksin seperti Bio Farma bisa menyerap atau mendukung penelitian yang dibuat para peneliti Tanah Air.
"Ya memang harus ada terobosan-terobosan untuk membuat vaksin. Kita harus mengejarnya, meskipun itu memerlukan riset dengan biaya tinggi," tutupnya.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) Sam Soeharto di sela Konferensi Jaringan Produsen Vaksin Negara-Negara Berkembang (DCVMN) ke-13 di Kuta, Bali, Kamis (1/11/2012).
Dalam perkembangannya, hewan yang terkena vaksin yang telah berusia puluhan tahun, kumannya menjadi kebal. Akibatnya, vaksin yang dibuat tidak efektif lagi untuk kuman yang sama.
Harus diingat, kuman itu cukup pandai dan cepat beradaptasi terhadap suatu obat, sehingga kuman yang sama itu bisa mengeluarkan zat-zat untuk menghacurkan segala macam obat atau NGR Multi Drug System.
Menurut Soeharto, memang tidak ada jalan lain kecuali lewat obat vaksinasi. "Harus dilakukan vaksinasi. Kalau vaksinnya belum ketemu, itu yang menjadi problem," katanya.
Berkembangnya berbagai macam penyakit utama di Indonesia, lanjutnya, dapat memengaruhi target pencapaian angka MDGs (Millenium Development Goals).
Soeharto kemudian mencontohkan penyakit malaria. Saat ini, malaria masih menjadi masalah besar karena Indonesia belum mampu mengatasi penyakit tersebut dengan baik. "Ini yang harus kita kejar bagaimana mencari, memproduksi vaksin-vaksin baru untuk mengatasi penyakit utama tersebut," ungkapnya.
Penyakit malaria masih banyak ditemukan seperti di daerah-daerah baru untuk pertambangan batubara, perkebunan sawit yang tersebar di beberapa daerah seperti Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.
Yang menjadi persoalan, bagaimana macam penyakit utama itu kini yang telah berkembang menjadi zoonosi seperti flu burung, flu babi, tubercolosis (TB) hingga malaria bisa ditemukan obat vaksinnya. Sejauh ini, sudah ada beberapa riset dilakukan untuk mencari vaksin yang bisa mengatasi berbagai macam penyakit tersebut.
"Tidak ada terhambat, cuma memang risetnya belum final. Karena vaksinasi TB misalnya, tidak sepenuhnya efektif untuk melindungi atau protektif terhadap TB," katanya menyoal kendala riset vaksin di Indonesia.
Soeharto kemudian kembali mencontohkan, orang yang terdiagnosa penyakit TB belum tentu bisa diobati dengan vaksin tersebut. “Pasalnya, vaksin itu hanya memproteksi TB di luar paru-paru sedangkan untuk yang berada di paru-paru masih perlu dikaji,” tukasnya.
Soeharto mengakui, untuk pengembangan vaksin baru dibutuhkan dana tidak sedikit dan memerlukan riset yang cukup lama. Belum sepenuhnya perusahaan besar vaksin seperti Bio Farma bisa menyerap atau mendukung penelitian yang dibuat para peneliti Tanah Air.
"Ya memang harus ada terobosan-terobosan untuk membuat vaksin. Kita harus mengejarnya, meskipun itu memerlukan riset dengan biaya tinggi," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar